Menyingkap Tuah Makam Tokoh Sakti Grobogan


Oleh: Djoko Judiantoro

Ia lahir dari rahim seorang bidadari. Ia mampu menangkap petir yang menggelegar lalu dipertontonkan di depan khalayak. Peninggalannya juga bertuah untuk keselamatan, rezeki dan derajat.

______________________________

Purwodadi Grobogan tak hanya dikenal sebagai salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang memiliki banyak peninggalan sejarah penyebaran Islam, tetapi kabupaten ini juga menyimpan beberapa makam leluhur Raja-Raja Mataram Islam di Tanah Jawa. Salah satunya sebuah makam yang sangat dihormati, sekaligus dikultuskan sebagai orang yang kelak dari keturunan terlahir para raja yang memimpin Mataram Islam di Tanah Jawa.

Untuk mengetahui berbagai peninggalan sejarah yang ada di sekitar Purwodadi Grobogan, Misteri mencoba menjelajah kabupaten ini demi menyingkap keberadaan makam para leluhur Raja Mataram Islam di Tanah Jawa itu. Sekaligus menyingkap sejarah yang dianggap hanya dongeng belaka, namun semua ini adalah fakta sejarah.

Beberapa makam tokoh yang ada di Purwodadi Grobogan diantaranya adalah makam Ki Ageng Tarub atau yang lebih dikenal dengan nama Jaka Tarub. Selain makam Ki Ageng Tarub yang berada di Desa Tarub, terdapat juga salah satu makam putra menantu Ki Ageng Tarub yang beristrikan dengan putri Ki Ageng Tarub yang bernama Dewi Nawangsih. Putra menantu yang bernama Ki Ageng Lembu Peteng atau Raden Bondan Kejawan merupakan putra Prabu Brawijaya V yang disingkirkan dan dirawat oleh Ki Ageng Tarub kemudian dijodohkan dengan putrinya sendiri yang akhirnya dikenal dengan laku kungkum di sebuah telaga dan melihat sekelebat bayangan sosok laki-laki di air yang tak lain adalah Syekh Maulana Maghribi yang tengah bertapa di atas pohon.

Konon tanpa disadari dalam keadaan telanjang Dewi Telangkas yang terlanjur masuk ke dalam kolam hamil. Semakin lama perutnya semakin membesar hingga selesai bertapa Dewi Telangkas kembali ke rumah dalam keadaan perut membesar. Orang tuanya yang melihat keadaan itu kaget. Putri kesayangannya hamil tanpa diketahui siapa orang yang menghamilinya. Kejadian di telaga itu kemudian diceritakan pada orang tuanya, saat Dewi Telangkas melihat bayangan seorang lelaki di dalam kolam telaga.

Hingga akhirnya terlahir dari rahim Dewi Telangkas seorang bayi laki-laki yang kuat dan sehat. Oleh Dewi Telangkas bayi ini kemudian dibawa ke pinggir telaga diletakan dan ditinggalkan begitu saja di pinggir kolam telaga Syekh Maulana Maghribi, ayah si jabang bayi yang melihat anaknya dibuang di pinggir telaga kemudian berkata yang ditujukan kepada Dewi Telangkas.

“Kamu tidak menyadari, kelak anak ini akan menurunkan raja-raja di Tanah Jawa,” sabda Syekh Maulana Maghribi.

Sejak saat itu bayi laki-laki tersebut kemudian diasuh oleh seorang janda tua yang berasal dari Dusun Tarub dan diberi nama Jaka Tarub. Pada saat bayi ini ditemukan, didekatnya terdapat sebuah senjata pusaka berupa tutup gading (senjata yang ditiup). Senjata pusaka yang bernama Tulup Tunjung Lanang tersebut merupakan senjata pusaka pemberian Syekh Maulana Maghribi. Pusaka ini tak pernah lepas dari genggaman tangan Jaka Tarub bahkan sampai ia mati.

Pusaka Tulup Tunjung Lanang dipercaya ikut moksawa setelah Ki Ageng Tarub moksawa bersama raganya. Pusaka ini sering kali terlihat para pelaku ritual bersinar di atas makam Ki Ageng Tarub. Beberapa spiritual yang mampu melihat ke dalam dunia ghaib mengatakan, kalau pusaka Tulup Tunjung Lanang masih terus dipegang oleh Ki Ageng Tarub.

“Oleh sebab itu tak jarang di atas makam Ki Ageng Tarub seringkali terlihat kepulan asap putih berbentuk kabut pada saat pusaka Tulup Tunjung Lanang menampakan wujudnya,” papar Kanjeng Hastono Adipuro.

Masih menurut sang juru kunci, beberap ritual tradisi sering digelar oleh penduduk sekitar bertepatan pada bulan Syafar dalam penanggalan Jawa sebagai salah satu wujud rasa syukur dan penghormatan kepada Ki Ageng Tarub. Hal ini diwujudkan dengan cara menggelar doa dan tahlil tiap malam Selasa Kliwon dan malam Purnomo Sidi.

Malam Purnomo Sidi adalah malam peringatan untuk mengenang pertemuan antara Jaka Tarub dengan Dewi Nawangwulan. Berbagai doa dan ucapan rasa syukur sekaligus berbagai sesaji dipersiapkan pada malam itu. Beberapa sesaji diantaranya adalah nasi tumpeng ingkung ayam sego golong dan sesaji lainnya sebagai pelengkap pada saat doa malam Purnomo Sidi.

Sedangkan pada malam Selasa Kliwon atau malam Anggoro Kasih upacara ritual yang digelar di makam Ki Ageng Tarub akan lebih komplit, karena merupakan malam besar bagi para leluhur. Persembahan sesaji pada malam Selasa Kliwon diantaranya adalah sesaji tumpeng ingkung ayam, bunga wewangian, nasi wuduk, bunga wewangian dan sesaji lainnya yang berupa polo pendem.

“Upacara yang dilakukan masyarakat Desa Tarub ini sebagai wujud syukur kepada Tuhan dan para leluhur yang hingga sampai sekarang masih terus mengayomi seluruh penduduk Desa Tarub dan sekitarnya,” jelas Hastono Adipuro.

Tetapi dari seluruh upacara ritual adat ini, tegas Kanjeng Raden Tumenggung Hastono Adipuro, yang paling komplit dan lengkap adalah pada saat penggantian kain langse penutup nisan makam Ki Ageng Tarub yang dilakukan Keraton Surakarta. Pada saat itu upacara pergantian kain langse, sekaligus memprsiapkan sesaji yang dibuat langsung para abdi dalem di Keraton Solo.

Tradisi ritual pergantian kain langse tiap tanggal 15 Jawa pada bualan Syafar ini biasanya dihadiri banyak tamu dan kerabat dari Keraton Surakarta serta para warga sekitar yang berharap biasa mendapatkan secuil kain langse bekas penutup makam Ki Ageng Tarub untuk pegangan kemakmuran, keselamatan maupun jabatan.

Kain langse penutup yang lama akan diganti dengan langse baru sekaligus dilakukan pembersihan makam Ki Ageng Tarub. Kain langse lama yang selama ini terpasang dipercaya memiliki tuah ghaib mampu membuat laris para pedagang apabila disimpan di dalam kantong uang.

Juga membuat tanah persawahan subur dijauhkan dari hama apabila ditanam di tanah persawahan. Tetapi yang paling diharap oleh banyak kalangan terutama para pejabat, kain langse ini dipercaya mampu sebagai pegangan diri tolak bala, lancar menaiki jenjang karier.

Beberapa upacara adat dan ngalap berkah bagi para penziarah dan melakukan ritual di makam Ki Ageng Tarub tak akan genap apabila belum mengunjungi makam Ki Ageng Selo. Makam Ki Ageng Selo yang berada tak jauh dari makam Ki Ageng Tarub yang berjarak hanya 4 km masih berada dalam satu kawasan kecamatan dengan makam Ki Ageng Tarub yang berada di Kecamatan Tawangharjo, Grobogan. Oleh karena itu para penziarah maupun para pelaku ritual biasanya menjadikan dua tempat ziarah ini menjadi satu paket kunjungan ritual.

Makam Ki Ageng Selo yang menjadi salah satu Pajimatan atau tempat pemakaman resmi milik Karaton Kasunanan Surakarta berada di Desa Selo. Beberapa bangunan peninggalan pada masa dulu di tempat ini diantaranya adalah masjid yang dibangun diera pemerintahan Paku Buwono dan dipugar oleh PB X serta beberapa bangunan lainnya yang kini talah menjadi cagar budaya.

Selain itu beberapa bangunan milik warga sekitar yang bertempat tinggal di tempat ini kesemuanya merupakan tanah magersari, atau penempatan tanah milik karaton.

Selain makam Ki Ageng Selo yang berada di sebuah bangunan pesanggrahaan khusus yang dibangun para penerusnya, di tempat ini terdapat juga beberapa makam lainnya yang berada di sebuah komplek pemakaman umum di samping Pajimatan Ki Ageng Selo juga terlihat berada tak jauh dari pesanggrahaan Ki Ageng Selo.

Keberadaan pemakaman umum di samping makam Ki Ageng Selo kini telah ditutup dan dipugar sebagai tempat khusus untuk melakukan ziarah dan lelaku ritual. Beberapa bangunan di tempat ini dibangun menyerupai bentuk lorong sebuah rumah sakit namun terlihat sangat bersih dan asri. Dari beberapa bangunan dan makam yang dikeramatkan di tempat ini, terdapat juga salah satu pohon yang sangat dikeramatkan. Pohon yang berukuran kurang lebih sebesar paha orang dewasa dengan tinggi sekitar 3 meter tersebut usianya telah mencapai ratusan tahun.

“Pohon Gandrik, pohon ini pernah dipakai oleh Ki Ageng Selo untuk mengikat petir,” kata Rozak juru kunci muda makam Ki Ageng Selo.

Menurutnya, pohon Gandrik yang memiliki tuah penolak petir hanya tumbuh di satu tempat saja, yaitu di makam Ki Ageng Selo. Kekuatan tuah dalam pohon Gandrik tak hanya sebatas pada batang kayu, tetapi daun pohon gandrk juga memiliki khasiat yang sama dengan batang kayu. Kepercayaan ini sudah ratusan tahun diyakini oleh penduduk Desa Selo, tempat di mana Ki Ageng Selo tinggal sekaligus menjadi tempat peristirahatannya.

Masih menurut Rozak, kekuatan tuah pohon Gandrik sebagai penolak petir tak hanya saat daun gandrik tersebut dibawa, keberadaan makam Ki Ageng Selo yang ada di Desa Selo di percaya memiliki kekuatan mampu menangkal petir hiingga tak bisa menyambar di Desa Selo. Kepercayaan tersebut hingga kini masih lekat dipegang teguh para penduduk Dsa Selo. Keyakinan ini terkait dengan cerita dimasa lalu bahwa Ki Ageng Selo merupakan satu-satunya orang yang mampu menagkap petir.

Peristiwa penangkapan petir tersebut terjadi pada masa pemerintahan Kesultanan Demak. Kisah ini terjadi di tengah persawahan pada saat petir menggelegar dan menyambar-nyambar para penduduk desa yang tengah bercocok tanam. Mendengar berita adanya yang menyambar para penduduk desa, Ki Ageng Selo kemudian mendatangi sawah pertanian dan menghadang sang petir. Dalam keadaan cuaca mendung dan petir menyambar-nyambar Ki Ageng Selo dengan kesaktiannya berhasil menangkap kilat petir yang berusaha menyambarnya. Petir yang berhasil ditangkapnya seketika itu berubah menjadi sosok seorang laki-laki tua.

Kakek tua renta itu kemudian dibawa pulang dan diikat ke pohon Gandrik yang ada di perkarangan rumah Ki Ageng Selo. Masyarakat desa yang mendengar kabar penangkapan petir, kemudian berbondong-bondong mendatangi kediaman Ki Ageng Selo untuk melihat petir yang ditangkapnya.

Hingga akhirnya kabar tersebut didengar oleh Sultan Demak dan memintanya agar kakek yang menjadi jelmaan sang petir dipertontonkan di alun-alun. Tetapi Sultan berharap agar kerangkeng tahanan bagi sang kakek haruslah dibuat dari besi yang kokoh agar tak mudah dihancurkan.

Kakek tua dengan sosok renta kemudian dimasukan ke dalam kerangkeng dan dipertontonkan kepada seluruh penduduk negeri. Tetapi sebelum petir tersebut dipertontonkan, Sultan telah mewanti-wanti kepada seluruh penduduk agar kakek ini tak diberi air. Namun larangan tersebut pupus tatkala seorang perempuan tua renta diam-diam mendekati kerangkeng dan memberinya air minum kepada si kakek. Dan seketika itu terdengar suara geledek petir yang memekakan telinga, membuat kerangkeng besi hancur berantakan seiring dengan lenyapnya sang kakek.

Rupanya perempuan tua yang memberinya minum tersebut adalah istri kakek yang berwujud asli petir yang berusaha melepaskan suaminya dari dalam kerangkeng besi. Namun semenjak kejadian ditangkapnya petir oleh Ki Ageng Selo, seluruh penduduk Desa Selo tak ada lagi yang tersambar petir. Mereka meyakini kesaktian tuah Ki Ageng Selo masih terus melindungi seluruh warga desa bahkan hingga sekarang.

Sedangkan pohon Gandrik yang pernah dipergunakan untuk mengikat petir dipercaya juga mampu menangkal petir. Tak hanya dahannya saja, daun pohon Gandrik dipercaya juga mampu menangkal petir dengan cara mengucapkan mantera, “Gandrik anak putune Ki Ageng Selo” diyakini akan bisa terhindar dari sambaran petir.

“Tuah daun Gandrik tak hnaya digunakan untuk menolak petir, tetapi juga mampu dipergunakan untuk mengobati orang sakit dan pelarisan,” tutur Rozak.

Para pelaku ritual ziarah, biasanya mengambil daun Gandrik saat dilangsungkannya pergantian upacara kain langse penutup makam Ki Ageng Selo. Peringatan haul yang bertepatan dengan pergantian langse tersebut dilakukan oleh kerabat karaton Kesunanan Surakarta yang jatuh tiap bulan Ruwah tanggal 15 dalam penanggalan Jawa.

Tak sedikit warga sekitar dan luar daerah menghadiri jalannya prosesi upacara tradisi penggantian langse. Selain berharap bisa memperoleh secuil kain langse yang dipotong kecil-kecil dan dibagi-bagikan kepada para pengunjung, para pelaku ritual juga berharap bisa memperoleh daun Gandrik yang diambil dari pekarangan makam Ki Ageng Selo.

Selain untuk menolak bala, daun gandrik juga dipakai untuk pelarisan, tetapi yang paling utama daun gandrik digunakan para petani dengan cara diselipkan di caping untuk menolak petir. Selain bulan Ruwah, makam Ki Ageng Selo juga banyak didatangi para pelaku ritual tiap malam Jumat Wage dan malam satu Suro.

“Selain pohon Gandrik, terdapat juga bak penampungan air wudhu masjid yang dibangun oleh PB X yang airnya seringkali dimanfaatkan oleh para peziarah untuk pengobatan,” jelas Rozak.

Menurutnya, air wudhu yang ditampung ke dalam bak seluas satu kali dua meter ini biasa dipakai para peziarah untuk mengobati penyakit yang sulit disembuhkan oleh medis. Kepercayaan ini sudah menjadi keyakinan para peziarah hingga turun-temurun sampai sekarang ini. Bak air yang dibuat tanpa atap tersebut pada masa lalu digunakan sebagai bak penampungan di kala musim kemarau panjang. Dengan harapan apabila terjadi hujan maka bak tersebut bisa dipenuhi air untuk digunakan sebagai air sesuci wudhu.

“Daun gandrik, dan air wudhu boleh diambil para peziarah sebagai penolak petir dan obat, hanya satu yang tak bisa diambil untuk umum yaitu api suci,” jelas Rozak.

Terdapat satu sumber api abadi yang sangat dikeramatkan penduduk sekitar serta raja-raja Mataram Islam di Jawa. Sumber api abadi ini tersimpan di dalam sebuah kotak lemari kayu ukir yang ada di dalam makam Ki Ageng Selo. Api abadi tak pernah padam selama ratusan tahun, bahkan kekuatan yang dipancarkan dari bara api pernah dipakai putri bidadari untuk menanak nasi.

Bahkan sampai sekarang ini kekuatan api abadi masih terus dipakai dan dipergunakan untuk segala keperluan upacara tradisi adat yang dilakukan Karaton Kesunanan Surakarta. Pengambilan api abadi bisa dilakukan setiap kali Karaton akan menggelar upacara adat menanak nasi dengan menggunakan dandang sedudo, dandang nasi milik bidadari Dewi Nawangwulan yang mampu menanak nasi dengan seuntai padi.

Api yang digunakan untuk menanak nasi sengaja diambil di tempat ini karena Ki Ageng Selo merupakan keturunan langsung dari Dewi Nawangwulan. Setiap kali melakukan pengambilan api suci, berbagai sesaji dipersiapkan dalam mengawali prosesinya. Sesaji-sesaji ini dibuat secara khusus oleh para abdi dalem Karaton di dalam lingkungan karaton.

Pengambilan api suci biasanya dilakukan sendiri oleh sang juru kunci dengan cara membuka lemari pusaka tempat penyimpanan bara api yang hanya bisa dibuka pada saat dipergunakan menjelang upacara ritual menanak nasi. Tuah kekuatan dalam api suci yang tak pernah padam selama ratusan tahun dipercaya menjadi lambang kemakmuran negeri Mataram sekaligus sebagai api pelebur kejahatan.

Oleh karena itu perjalanan ziarah laku ritual di kawasan Purwodadi Grobogan belumlah lengkap apabila belum mengunjungi makam Ki Ageng Tarub dan makam Ki Ageng Selo. Tuah kedua tokoh sakti ini dipercaya mampu menjadi lantaran dari Tuhan kepada para pelaku ritual yang ngalap berkah dengan harapan agar penyuwunannya bisa dikabulkan. (*)

Sumber: Misteri Edisi 561, Tahun 2013

About Iwan Lemabang

Aku hanya manusia biasa yang tak luput dari salah dan dosa.

Posted on June 28, 2014, in Jelajah. Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment